Surabaya (21/09), dilanjutkan dengan sesi yang kedua. Sesi ini diberikan oleh Bunda Euis Kurniawati, biasa dipanggil dengan nama Bunda Euis. Beliau merupakan pemerhati dunia parenting, founder Kelas Pengasuhan Graha Istiqomah dan juga pembina Klinik Nikah Surabaya. 


Materi dari Beliau dibuka dengan slide yang berisikan kalimat, "Menikah itu Gerbang Peradaban". Why?
Bukankah salah satu tujuan dari menikah itu adalah meneruskan silsilah keturunan kita?, maka sudah pastilah dengan menikah "Gerbang Peradaban" itu akan terbuka. Dalam agama pun Menikah diibaratkan dengan separuh agama, karena ia merupakan ibadah terlama, yaitu seumur hidup. Semua ibadah, seperti shalat, puasa, masih ada jedanya. Namun, hanya menikah lah yang tidak ada jedanya. 

Dan sadarlah, kitalah, wahai Muslimah...Sang Arsitek Peradaban

Layaknya seorang arsitek yang tengah merancang suatu bangunan, kita tentu akan berusaha semaksimal mungkin untuk "merancang" bangunan tersebut agar menjadi "bangunan" terbaik yang pernah ada. Begitu pula lah, kita sebagai arsitek peradaban, kita juga seyogyanya akan "merancang" suatu "bangunan" yang dalam hal ini kita ibaratkan sebagai "anak" kita. Tentulah, baik atau buruknya suatu "bangunan" itu bergantung pada kita selaku arsiteknya. Pun, dengan anak, baik atau buruknya bergantung kepada kita selaku sang arsitek peradaban.

Terkait baik atau buruknya seorang anak, kita tentu tidak bisa lepas dengan sampai umur berapa seseorang masih dikategorikan sebagai seorang anak dalam Islam. Dalam agama Islam, seseorang dikatakan sudah "tidak lagi" disebut sebagai seorang anak ketika seseorang tersebut,
- Perempuan : telah mengalami Haid atau menstruasi.
- Laki-laki : telah mengalami mimpi basah.
Lantas dengan begitu, maka beban-beban syari'at telah jatuh kepadanya. Maka dimulailah suatu masa peralihan dari seorang anak-dewasa/mumayyis. 

Namun, apakah benar demikian pengertiannya seperti itu ?
Benarkah, anak perempuan yang berusia 8 tahun yang ia sudah mengalami masa haid, benar telah mendapatkan "beban syariat"? 
Benarkah ia harus menanggung sebuah konsekuensi dari suatu ibadah yang tak ia laksanakan, yaitu sebuah dosa?

Aqil -> Berakal  & Baligh -> Biologis, maksudnya seseorang dikatakan telah "Aqil Baligh" ketika "aqil" dan "baligh" itu datang secara bersamaan. Pada kasus seorang anak perempuan yang berusia 8 tahun yang telah mengalami haid, "baligh" yang telah datang terlebih dahulu, tidak dengan "aqil". Sekarang, bisakah anak usia 8 tahun membedakan yang baik atau buruk bagi dirinya?, ah kiranya anak seusia itu masih perlu bimbingan kita selaku orang yang lebih banyak umurnya daripada dia, yang lebih memiliki banyak pengalaman dalam hidup dikarenakan jumlah usia yang terbilang lebih banyak.

Menurut jumhur para ulama', selambat-lambatnya anak telah dikatakan telah menjadi seorang yang dewasa adalah usia 15 tahun. Jadi, pengasuhan kita sebagai orang tua seharusnya telah dicukupkan ketika anak telah menginjak usia tersebut.

15 tahun, bisa apa?

Mari kita simak, contoh orang-orang yang usia 15 tahun telah membuktikan jati dirinya sebagai seorang yang telah layak dikatakan sebagai seorang yang telah dewasa. 

- Usamah bin Zaid : Ketika usia 14 tahun ia telah dinikahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini tentulah bukan suatu hal yang main-main. Perkara menikah, yang  mana seorang laki-laki mengambil peran sebagai wali dari ayah seorang perempuan yang akan dinikahinya kepadanya. Tentulah ada skenario dibalik semuanya. Dua tahun kemudian, tepatnya ketika ia berusia 16 tahun, ia dipilih sebagai panglima perang kaum muslimin.

- Imam As-Syafi'i : Kita tentu tidak asing dengan satu nama ini, seseorang yang namanya digunakan sebagai nama salah satu madzab fiqh yang mayoritas digunakan oleh masyarakat Indonesia. Pada usia 11 tahun, ia telah menjadi mahasiswa. Dilanjut dengan, ketika berusia 14 tahun, ia telah kehabisan bacaan-bacaan dari seluruh dosen yang mengajarnya. Pada usia 16 tahun, ia telah menjadi seorang mufti (Ahli fatwa).

- Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi : Penemu angka 0, dan juga bapak penemu aljabar. Pada usia 18 tahun telah berhasil menjadi seorang Guru Besar dalam bidang matematika.


Lantas, Apa peran kita sebagai seorang Arsitek Peradaban?

Ketahuilah, bahwa peran peradaban terbaik adalah dengan akhlak yang mulia. Maka, sudah jelas adanya kita sebagai calon arsitek peradaban harus benar-benar mempersiapkannya. Sebelum tugas mulia tersebut kita emban, ilmu dan bekal yang kita miliki haruslah cukup.

Tentulah kita tidak bisa berperan hanya "seorang diri". Karena menikah itu tidaklah  bisa "mandiri". Di sinilah peran kita sebagai calon arsitek peradaban di mulai. Why? remember, anak-anak kita tidak bisa memilih dilahirkan dari orang tua seperti apa. Tapi, kita lah sebagai orang tua wabilkhusus ibunya kelak, bisa memilihkan "Ayah" terbaik untuk anak-anak kita. 

Pentingnya juga memiliki visi-misi keluarga ke depannya seperti apa. Hum.. apa ya? kurikulum keluarga, jadi keluarga yang akan kita bangun telah memiliki visi-misi yang jelas ke depannya seperti apa. Tidak seperti air yang mengalir saja, ah bukankah suatu  perjalanan yang panjang akan lebih indah jikalau disusun dengan rencana yang matang?. Begitu pula dengan membangun keluarga, ia diibaratkan suatu perjalanan panjang seumur hidup, yang tentunya akan jauh lebih bagus jikalau dipersiapkan secara matang.

Berikut contoh kurikulum keluarga yang diterapkan dalam keluarga Bunda Euis.

OUTPUT
"Bahagia Sukses Dunia Akhirat"

! Allah bangga --> Bukan hanya sekedar suka dan sayang

- Aqidah yang lurus --> Akhlak kokoh & ibadah benar

- Berkembang potensi --> Tau Goal, Tau Passion, Tau Peran, Tau Kekuatan, & Tau Tallent

! Unggul --> Manfaat & Produktif

* Survive --> Mandiri 


Ah, keren ya? 

Attention

95 % masalah anak yang terjadi, bersumber dari orang tua. Maka dari itu, wahai  calon bunda dan calon ayah, mulailah berbenah dari sekarang. Jikalau kita menginginkan anak-anak kita sebagai penghafal Al-Qur'an, maka tengoklah kepada cermin, sudah berapa hapalan kita? sudah siapkah kita menjadi perantara anak kita dalam mengenal kalam Allah?. 

Atau, jikalau kita menginginkan anak kita kelak menjadi seseorang yang gemar membaca buku, sudah berapa banyak buku bacaan kita yang telah kita baca?. Siapkah kita menjawab segala pertanyaan-pertanyaan rasa keingintahuannya?

Jadi, marilah berbenah mulai dari sekarang. Start from Now, 
Dan, "Berhati-hatilah dengan Inner Child" atau "Anak Kecil dalam Diri Kita". Apa itu? Inner Child merupakan luka batin pengalaman pengasuhan masa kecil. Misal, kita yang sedari kecil biasa dibesarkan dengan "bentakan", maka khawatirnya hal itu akan terbawa ke dalam pengasuhan kita kepada anak kita kelak. 

Ah biasa aja sih, itu mah?

No, itu tidak bisa dianggap sepele lo. Aku kasih sebuah ilustrasi deh, seseorang yang terbiasa dibesarkan dengan sebuah cacian, bentakan, pukulan, bisa jadi ia akan secara tidak sadar melakukannya ke anaknya kelak. Lalu, karena ia sadar hal tersebut bukanlah suatu hal yang baik, maka ia ingin memutus rantai "Dosa Jariyah" tersebut agar cukup hanya padanya dosa itu berada. Jikalau anak-anaknya hidup, bisa jadi ia akan melakukan hal yang sama pada cucu-cucunya kelak. Lantas, apakah ini bukan dosa jariyah namanya?.

Ngingau lu, ilustrasinya..

No..ini merupakan ilustrasi singkat yang aku tuliskan berdasarkan pengalaman Bunda Euis mengembara di berbagai wilayah Indonesia memberikan materi mengenai parenting. Dan beliau telah banyak menemukan kasus-kasus seperti ini terjadi. Pernah tahu atau melihat di siaran telivisi atau surat kabar, seorang ibu yang membunuh anak-anaknya dengan tangannya sendiri bukan?. Nah, bisa jadi jikalau diteliti lebih dalam, kasusnya bisa jadi juga berasal dari "inner child" dari seorang ibu, yang ia sangat sayang kepada anaknya sehingga ia tidak menginginkan anak-anaknya bernasib sama seperti dirinya. 

Maka, teruntuk kita atau mungkin bisa jadi juga aku, ayo selesaikan "luka batin" itu sekarang, agar saat kita telah menjadi orang tua, "luka batin" yang pernah mampir dalam hidup kita telah benar memasuki tahap ending.

Dan, teruntuk orang-orang yang pernah mengalami pengasuhan masa kecil yang tak cukup baik atau bahkan hingga menjadikan hal tersebut menjadi "inner child". Namun, ia justru belajar sungguh-sungguh dunia parenting, baik dengan membaca buku, sosial media, melihat youtube, ikut talkshow atau seminar parenting dengan harapan ia dapat menjadi orang tua yang terbaik bagi calon anaknya kelak. Ah, sungguh kalian manusia super yang ingin memutuskan "Dosa Jariyah" itu lebih dini. Malah kalian menjadikan hal tersebut sebagai cambuk, "Anakku harus mendapat pengasuhan yang terbaik, makanya aku harus mempersiapkannya dari sekarang."

Orangtua merupakan Penanggung Jawab Pertama dan Utama 

Pendidikan seorang anak itu adalah tanggung jawab orang tua. Jadi, bukan tanggung jawab penuh seorang pengajar atau guru di sekolah, akan hasil belajar dari seorang anak. Jika dikalkulasi dalam sehari, lebih banyak mana waktu yang dihabiskan seorang anak antara bersama guru atau bersama orang tua?. Ah, lagi memang orangtua lah sebagai penanggung jawab skenario pendidikan dan pengasuhan dari seorang anak. 

17 ayat dalam Al-Qur'an terdiri dari 14 ayat mengisahkan percakapan antara seorang ayah dan seorang anak. Hal ini mengapa, pentingnya kita sebagai arsitek peradaban memilih dengan baik siapa kelak penanggung jawab proyek yang bernama "keluarga" ini. Siapa yang pantas menjadi seorang kepala madrasah dalam madrasah yang di dalamya, kita lah sebagai gurunya. Bukankah, Al-Ummu Al-Madrasatul 'Ula, Ibu adalah Guru pertama bagi anaknya. Lantas, apakah akan berjalan dengan baik suatu madarasah itu jika pimpinannya dalam hal ini kepala madrasah yaitu ayah, kurang cakap atau justru malah ia tidak tahu betul dengan perannya? 

Ah, makanya..marilah sama-sama berbenah. 

Lantas, kita sebagai Orangtua harus tahu betul dong mengenai bakat anak kita seperti apa? 

Betul, DONG !!. WAJIB, dan FARDHU 'AIN

Lantas, ada gak kiat-kiat bagaimana kita mengetahui bakat yang dimiliki oleh si Kecil?

Oh ada dong.. wait.
Bunda Euis selaku pemateri meyakini bahwa seorang anak yang lahir di dunia ini tidaklah lahir sebagai "kertas kosong". Melainkan, Allah telah menitipkan beberapa fitrah kepadanya sejak lahir, yaitu ; 

- Fitrah Iman, dimana seorang anak yang terlahir ke dunia, ia terlahir sebagai seorang muslim. 

- Fitrah Belajar, dimana setiap anak yang lahir, ia akan semangat untuk terus belajar. Contohnya seperti belajar berjalan, belajar berbicara, yah itulah fitrah setiap anak.

- Bakat, ada 3 step nih yang dicontohkan secara singkat oleh Bunda Euis dalam seminar ini. Berikut ulasannya ;
  1. Usia 0-6 tahun : Amati sifat-sifat unik pada diri si Kecil.
    Misal : Melihat seorang anak yang suka sekali  nyuruh-nyuruh, "kamu jadi ini ya,.. " dan "kamu  berperan jadi itu ya di drama ini..". Janganlah terburu-buru menganggapnya anak yang songong. Bisa jadi ia memang memiliki bakat untuk memimpin sedari kecil. Untuk mengetahui apa saja bakat yang bisa dimiliki seseorang, bisa dicari di google mengenai keterangan 34 macam bakat.
  2. Usia 7-10 tahun :
    -
    Memberikan aktivitas yang relevan dengan bakat tersebut.
    - Tour the talent : ajak anak-anak untuk berkenalan dengan profesi-profesi sekitar.
  3. Usia 11-14 tahun : Ajak anak-anak untuk magang atau berinteraksi langsung dengan maestro yang berperan dalam pengembangan bakat anak.
  4. Usia 15 tahun : Anak sudah memasuki fase dewasa, yang mana ia sudah dianggap telah bisa memilih jalan hidupnya.

Baik-buruknya dari seorang anak, bergantung pada orang tua yang membawanya ke arah mana. Ke arah baik kah ata ke burukkah?. 

Jadi, sudah baikkah kita menjadi calon orang tua kelak?. 

Ayo berbenah, ayo belajar..

Bukankah kewajiban kita sebagai seorang muslim adalah belajar? 

Jikalau sudah tahu peran kita sebagai orang tua itu bukanlah  perkara yang main-main, jadi mau mulai dari kapan kalau tidak dari sekarang kita mempersiapkannya menghadapi peran mulia tersebut !

--Semangat Berbenah

Created by : Khusnul