Judul : Muslimah Yang Diperdebatkan
Pengarang : Kalis Mardiasih
Pengarang : Kalis Mardiasih
Penerbit
: Buku Mojok
Cetakan keempat, Juli 2019
Harga : Rp. 78.000,00- (tersedia di Gramedia atau bisa dibeli di mojokstore melalui sosial media penerbit Mojok)
Halaman : xii + 202 halaman
Ukuran : 14 x 20 cm
ISBN : 978-602-1318-93-5
Genre : Buku Opini (atau kalau pengklasifian buku-buku yang telah ku baca adalah Pemikiran)
Cetakan keempat, Juli 2019
Harga : Rp. 78.000,00- (tersedia di Gramedia atau bisa dibeli di mojokstore melalui sosial media penerbit Mojok)
Halaman : xii + 202 halaman
Ukuran : 14 x 20 cm
ISBN : 978-602-1318-93-5
Genre : Buku Opini (atau kalau pengklasifian buku-buku yang telah ku baca adalah Pemikiran)
Ini review buku pertama yang aku garap dengan serius, haha. Iyaps, sebelumnya aku
hanya mereview buku yang selesai aku baca di story IG. Namun, kiranya dinding
story IG kurang dapat menampung poin-poin review dari buku-buku yang aku
resensi, haha. Lah iya, tulisannya kecil-kecil, nyempil pojok sana-pojok sini,
itupun kayaknya, hanya sebagian yang aku bisa ulas.
Oleh
karenanya, dengan pertimbangan yang cukup lama, aku memutuskan untuk membuat
review buku-buku yang tuntas aku baca di blog saja. Ah ya, karena ini review yang pertama, mohon kritik dan sarannya ya.
Let’s
start to read ….
edit : khotimahk87 template by Canva
“Muslimah Yang Diperdebatkan”, wih dari
judulnya aja udah bikin penasaran gak sih. Aseli, aku masih mengingat kala
pertama kali tahu buku ini bulan Mei lalu, ketika main ke rumahnya Sintia. Tahu
gak, pesan Sintia kala aku pertama kali memegang bukunya,
“Gak
usah baca Nul, entar kamu kesindir..haha”-ucapnya
Aku
yang dasarnya kepo akut perihal sesuatu, apalagi ini terkait buku, ya malah
membaca bukunya sekilas dong. Namun, sayangnya tak bisa aku pinjam karena buku
tersebut akan ia bawa ke Jepang. Oke, next harus beli pikirku.
FYI,
di sampul belakang buku ini tertulis 15+.
Jadi, bagi yang merasa belum cukup umur, disarankan untuk tidak membaca ya.
Gokil sih buku yang baru cetakan pertama pada bulan April 2019, eh sekarang
udah cetakan ke-empat saja.
“Enggak
salah nih, aku beli buku ini..”-pikirku
Dari
judul bukunya saja, aku udah kepo, penasaran…
Maksud
dari “Muslimah Yang Diperdebatkan”, yang
seperti apa sih?.
Next,
aku tertuju sama daftar isi dari buku ini. Widih.. suka aku sama judul dari
narasi-narasi yang ditulis sama Mbak Kalis dalam bukunya ini.
Mungkin,
inilah alasan mengapa Sintia malah memberi saran untukku, “jangan baca Nul..
entar kamu kesindir”. Background dari penulis adalah pejuang feminisme, yang
mungkin menurut Sintia akan berseberangan dengan diriku yang sekarang.
Namun,
Sintia mungkin telah lupa, jikalau dahulu waktu kelas 2 SMA isu-isu feminisme
telah kita bahas atau menjadi makanan kita dalam club debat. Tenang kawan, aku
bukan orang yang taqlid buta, jikalau nilai-nilai yang ku pahami benar adanya,
kenapa aku harus takut untuk menjadi yang berbeda?.
Dan yah.. aku sepakat dan setuju sama feminisme
yang diusung sama Mbak Kalis dalam buku “Muslimah
Yang Diperdebatkan”. Akan tetapi, aku mencoba mempraktekkan ilmu yang aku
dapatkan kala mengikuti club debat, yakni ketika kita dihadapkan suatu
permasalahan atau topik
WAJIB
adanya kita menerimanya untuk menjadi tim Positif/Pro atau tim Negatif/Kontra.
Pun,
ketika aku membaca buku ini, aku mencoba menerapkan hal tersebut. Mencatat atau
memberi tanda, mana bagian dari buku ini yang aku acungi jempol atau aku sepakati. Dan juga, mana bagian yang aku
kurang sepakati, ah ya aku punya pendapat lain maksudnya.
Harap
bersabar, agaknya ini akan cukup panjang karena sepertinya banyak sekali bagian
buku yang aku tandai, haha. Bahkan nih yah, aku memegang dua bolpoin ketika
membaca buku ini, saking takutnya lupa sama poin penting dari buku ini. Yang
aku tandai dengan bolpoin warna merah = aku kurang sepakat. Sedangkan, yang aku
tandai dengan bolpoin warna hitam = aku sepakat.
Hope
you enjoy to read this review..
(-)
Ketika Khusnul menjadi tim Opposition
Opposition dalam dunia debat, berarti tim yang tidak sepakat
atau tim yang kontra terhadap suatu isu atau permasalahan yang diangkat. Dalam
bagian ini, aku akan memaparkan beberapa hal yang aku kurang sepakat atau tidak
sependapat dengan gagasan yang diusung oleh penulis.
-
Hal. 4 paragraf
ke-4,
Saya yakin, anaknya Al-Mukarrom ustaz-ustaz
zaman sekarang itu nggak akan boleh ikut-ikutan kegiatan yang begitu karena
bakal rawan bercampur dengan lawan jenis.
Aku kurang sependapat
dengan penggunaan kata yakin dalam awal paragraf ini.
Apakah kata yakin tersebut hanyalah bersumber dari keyakinan kita semata,
atau memang benar adanya demikian?. Ah, mohon maaf Mba Kalis, kiranya kurang
bijak jika berkata demikian dengan kita yang tak cukup paham akan pribadi dan
kehidupan seseorang yang dimaksud.
-
Hal. 8 paragraf
kedua perihal kembang surga,
…yang nggak perlu baca
buku sebab kalau baca buku nanti jadi terbuka pikirannya dan jadi kurang waktu
untuk bersolek di rumah..
Bukankah justru pendiri
universitas pertama itu adalah seorang perempuan?. Jadi, kiranya justru
perempuan haruslah berpendidikan dan memiliki pengetahuan yang luas.
Namun, aku tak ada pada
rentang waktu Mbak Kalis menjumpai seminar tersebut. Jadi, ini murni hanya
pendapatku sebagai orang yang tak ikut andil dalam suatu hal, hehe.
-
Hal. 47 paragraf
kedua,
…Agama yang diterapkan
dengan ekstrem dalam lini-lini kehidupan rupanya tidak menjamin lagi
terwujudnya masyarakat yang ideal ketika ia berkubang dalam pola pikir
kekuasaan yang otoriter.
Aku kurang sependapat,
bukankah kesuksesan seorang itu sebanding dengan keimanan seseorang?. Hal ini
terjadi pada masa keemasan islam dahulu kala. Ketika Islam maju dalam berbagai
bidang, baik segi pemerintahan, ilmu pengetahuan, ekonomi, dll.
Jikalau mungkin keadaan
Islam di Negara kita tidak lagi baik-baik saja. Jangan-jangan ada yang salah
dari beragama kita?. Beragama tak lagi hanya untuk-Nya,--
Terlepas dari beberapa
bagian yang aku kurang sependapat sama Mbak Kalis, I love you kok Mbak.
Perbedaan pendapat itu maklum adanya, seperti kata Mbak di buku ini,
Apa enaknya menjadi sama jika Tuhan saja sengaja
menciptakan manusia berbeda-beda?
Makasih udah nulis buku
ini, dan berikut beberapa hal yang aku SETUJU POUL sama Mbak Kalis.
(+)
Ketika Khusnul menjadi tim Affirmative
-
Hal. 7 perihal
meme ,
…Saya bahkan pernah
sangat sedih ketika mendapati meme yang tulisannya begini:
“Jilbab kami syar’i dibilang Islam garis keras. Lha
situ ndak berjilbab, Islam, bukan?”
Aku pun tak setuju
dengan tulisan meme tersebut. Kampanye yang kurang etis bagiku jikalau maksud
dari meme tersebut adalah mengajak seseorang untuk memakai jilbab. Bagiku Islam
atau tidaknya seseorang tidak hanya ditentukan oleh selembar kain kerudung.
Kita bukanlah hakim.
Kita tak pernah tahu akhir hidup seseorang. Bisa jadi orang yang hari ini kita
anggap paling jauh dari-Nya, kelak ternyata ia lah yang berada di garda
terdepan dalam memperjuangkan agama-Nya.
Tugas kita sebagai
sesama manusia adalah menebar “hikmah”. Mengingatkan tanpa ada unsur mengejek
ataupun menghina. Karena, Islam adalah Rahmatan Lil’Alamin. Sebarkanlah
kedamaian Islam dengan cara-cara yang bijak.
-
Hal. 14 paragraf
ke-2,
…Juga, Syamsuddin Nur
Makka yang penuh semangat mengimajinasikan pesta seks di surga dengan belasan
bidadari perawan yang ia objektifikasi?...
Foila.. aku pun pernah
melihat penggalan ceramah yang disampaikan oleh pemuka agama ini. Kalau aku
dibolehkan bersumpah serapah mungkin
aku akan melakukannya. Namun, aku sadar itu tidak diperbolehkan. Akhirnya,
berucap.. “mon map, kenapa kok kesannya surga hanya tentang ena-ena?. Lagi,
kenapa harus “kami” para perempuan yang diharuskan menjadi objek dari
semuanya? WHY?”
-
Aku BOLD khusus
bagian ini…bagian ter-luv dari buku ini yang membuat aku berkeinginan untuk
membelinya, Hal. 23,
Perempuan yang Sekolah Tinggi Memang Tidak Berminat
Menikahi Akhi-Akhi Cupet
Aku SETUJU banget sama
judul dari bagian ke-empat buku ini. Loh iya lah, kami perempuan juga berhak
mengenyam pendidikan setinggi mungkin, semampu yang bisa ia lakukan. Katanya
ibu adalah guru pertama bagi seorang anak kelak, jadi ya tak masalah bukan
dengan pendidikan kami.
Coba tunjukkan
pernyataan bahwa pendidikan kami akan menunjukkan bahwa hanyalah
kesiaan belaka dari pendidikan yang telah kami tempuh?
Lah, kalau situ minder
sama pendidikan kami, ya bukan salahnya kami dong. Salahkan diri anda yang tak
bisa menjadi versi terbaik bagi diri anda, wahai bung yang takut sekali kalah
saing sama kami, HAHA.
Maaf bung, bukan kami
yang harus turun tangga agar bisa
sepadan dengan engkau. Bukan seperti itu, kalau bisa naik tangga bersama, kenapa harus ada yang turun tangga?
Semangat bung !!
Seperti Mbak Kalis yang
memberi Disclaimer, ku pun juga demikian : Cuitanku hanya diperuntukkan bagi
para akhi-akhi atau laki-laki yang memiliki pemikiran sempit, jikalau laki-laki
harus lebih dari segi apapun, wanita sebagai istri jangan sampe di atasnya
levelnya.
Kalau gak merasa ya
udah, syukurlah di dunia ini masih ada laki-laki yang memiliki AKAL SEHAT, haha.
-
Hal. 47 paragraf
terakhir,
…, untuk membebaskan
jilbab dari nilai-nilai yang selama ini melingkupinya secara sakral. Hak bagi
siapa saja untuk mengenakan jilbab, baik itu politikus maupun bukan, harus
bebas dari muatan nilai. Ada baiknya jilbab dipandang dalam bentuknya yang
paling fungsional sebagai pakaian kesopanan. ………
……, jika perempuan
politikus berjilbab melakukan tindakan tercela, itu terjadi karena pilihan
sikap politik yang tidak tepat atau karakter
yang cacat, dan bukan sebab jilbabnya.
Aku kerap menjumpai di
sekitarku, jikalau wanita telah menggunakan jilbab maka pastilah akhlak atau
perilaku wanita tersebut dipandang atau malah diharuskan mulus tanpa cacat. Ah, padahal antara akhlak dan jilbab
itu suatu hal yang berbeda.
Pun, aku paham
seyogyanya jikalau wanita telah memilih memakai jilbab, lambat laun bisa diiringi dengan akhlak yang baik kepada
Allah dan juga sesama.
Namun, hey…. Kalaupun
bertingkah mungkin menyimpang, lagi..
itu bukan salah jilbabnya. Ya murni
pribadinya saja.
-
Hal. 63 paragraf
terakhir,
Ya, diskusi-diskusi
soal “Perempuan dan Islam” di kalangan perempuan sendiri sudah mesti ditingkatkan kualitasnya.
Jujur nih ya, diskusi
atau kajian perihal kemuslimahan yang pernah aku ikuti sebelumnya, beberapa
dari tema kajian yang disajikan oleh panitia, ujung-ujungnya tuh….cuman bahas
NIKAHH ajaaaaa.
Aku kurang sepakat,
apakah tidak ada bahasan lain, misal tentang meneladani sifat kewirausahaan
Siti Khadijah R.A hingga mengantarkan ia menjadi muslimah sukses dalam
berwirausaha.
Dan, aku hapal banget
nanti pasti si mbak-mbak peserta kajian (termasuk aku juga mungkin kala itu,
ampuni hamba Ya Rabb) baper sana-sini, update sosmed “Halalin aku akhi..”
(Alhamdulillah.. aku gak sampe gini men, RISIH kalau kegalauan tentang hati di
umbar di sosmed haha, ketauan banget ngenesnya haha).
Mulai saat itu, aku
selektif sekaliiii dalam mengikuti kajian yang berbau-bau pembaperan ria.
Males, aku pikir ada hal yang jauh lebih “berat” di luar sana, ketimbang aku
mengurusi perkara hati yang tak ada ujungnya.
-
Hal 98, paragraf
kedua,
…..Di Indonesia, nikah
siri banyak dipraktikkan dengan alasan untuk menghindari zina, padahal yang
terjadi sesungguhnya adalah pengkhianatan
suami dengan istri pertama yang
sah….
Aku ucapkan
banyak-banyak terimakasih bagi
bapak-bapak atau para suami yang berpoligami tanpa persetujuan istri pertama yang sah. Atau, tau-tau si istri dapat
kabar suaminya telah berpoligami ketika ada seorang ibu dan anak datang ke
rumahnya.
Lantas, jikalau seperti
itu apa ya dibenarkan dalam agama?. Aku punya banyak cerita di sekitarku
tentang keluarga poligami, sedari KECIL. Iya, aku udah tau praktek poligami
sedari kecil, dan…. Hingga usia 22 tahun, aku belum menemukan poligami yang sukses di sekitarku
selain keluarga Nabi Muhammad SAW.
Jadi, bagi man teman
yang bilang aku aktivis anti-poligami, ya seterah situ. Aku tidak memiliki
kewajiban apapun atas prasangkamu. Kalau mau diskusi lebih lanjut, mari duduk
sambil minum teh dan makan donat. Akan aku beri tahu, alasan dibalik aku
menolak diriku dipoligami, haha.
IYA, aku masih dalam
tahap “aku tak setuju dipoligami, kalau orang lain melakukannya ya monggo. Everyone has a choice
kan?”-sabdanya Khusnul keluar, hihi.
Jadi, dari segi mana
aku dinobatkan sebagai aktivis anti-poligami ya?
-
Hal. 130
paragraf pertama,
“Membaca itu bikin kita
bahagia,” jawab Najwa.
Sama lo mbak Nana, aku
juga merasakan hal tersebut. Bagaimana rasa bahagia itu muncul ketika aku
mendapatkan pengetahuan baru dari membaca.
Aku senang sekali, aku yang awalnya bodoh atau tak tahu tentang suatu hal,
terus aku jadi tahu suatu hal tersebut dengan membaca, wah it’s so miraculous.
Seseorang juga pernah
bilang kepadaku,
“belajar agama itu
jangan cuman hanya mendengar, namun banyak membaca juga..”
Jadi, mari banyak
membaca agar kita bahagia hehe.
-
Hal. 143
paragraf pertama,
….Perempuan yang mulia
tidak cukup dengan menantikan pria yang saleh. Perempuan yang mulia mampu
menghargai dirinya sendiri dengan memilih laki-laki yang berpengetahuan.
Tolak ukur ke-salehan
laki-laki itu yang seperti apa sih?. Hal ini yang menjadi pertanyaanku sendiri
sejak lama. Pun juga, tolak ukur dari ke-salihah an seorang perempuan itu
seperti apa sih?. Semua hanya asumsi bagiku (lagi, ini hanya menurutku. Kalau
orang lain punya pemahaman lain, ya feel free to agree or disagree).
Banyak… orang-orang di
sekitarku, yang mondok puluhan tahun. Ya tak menjamin perilakunya kepada sesama
bagus ko. Aku tak mengeneralisirnya ko, aku hanya mengamati yang ada di
sekitarku, wabil khusus adalah keluargaku sendiri dan tetangga samping rumah.
Fyi saja background
keluarga bapakku di Madura pondok an. Jadi, lagi sedari kecil aku mendapati
perilaku orang pondok an yang katanya bisa dikatakan saleh, karena telah mengenyam pendidikan agama yang lebih banyak
dan lama. Ah, belum tentu.
Jadi, aku berkesimpulan
begini akhirnya..
“Saleh & salihah
atau tidaknya seseorang, kita tak bisa mengetahuinya secara pasti. Biarlah
Allah saja yang putuskan, si A saleh atau tidak. Beda dengan kepribadian atau
karakter seseorang. Itu pembentukannya lama dan sedari kecil. Jadi, mau menikah
sama akhi-akhi agamanya bagus tapi ia suka marah-marah atau main tangan? Aku
sih NO.”
-
Hal. 157
paragraf terakhir,
…, sebab istri memang
bukan suruhan. Ia tahu bahwa dalam keadilan relasi perempuan dan laki-laki,
posisi mereka setara. …
Menikah itu bukan
tentang mana yang lebih superior dan
mana yang inferior. Menikah itu
tentang kata “saling”. Ya saling menyemangati, saling membantu, saling
membersamai, saling support dengan
passion masing-masing.
Kalau menikah hanya
biar ada yang bantuin beberes, masakin, nyuci in, mon maap ente cari istri atau
ART?
Bapak aku saja hingga
sekarang ya gak malu tuh, nyapu-nyapu, nyetrika baju sendiri, nyuci baju
sendiri, masak sendiri. Bapak tak risih melakukannya, mengingat dulu waktu aku
dan saudaraku masih kecil. Kalau tidak dibantu sama Bapak, ya siapa lagi yang
akan menyelesaikan pekerjaan rumah kala Ibu tengah repot mengasuh aku.
Luruskan niat ya
akhi-akhi…
-
PENUTUP :
Paragaraf terakhir di halaman terakhir buku,
Islam selalu hadir lebih nyata lagi di telinga,
mata, serta aliran darah saya di dalam sebuah ide bernama feminisme. Feminisme
yang dalam banyak situasi bermakna keadilan. Keadilan hakiki untuk semua
manusia.
Setelah
membaca keseluruhan isi buku Mbak Kalis ini, ah buku ini seakan jadi layar LCD
dari kehidupan di sekitarku. Perempuan tak boleh mengenyam pendidikan yang
lebih tinggi daripada laki-laki. Eh seriusan ini, ada sekeluarga besar ustadz
di kampungku yang anak perempuan dalam keluarganya hanya boleh bersekolah
maksimal tingkat dasar. Beda lagi dengan laki-laki, wah disekolahin setinggi
mungkin atau di pondok in ke pondok yang ternama sekalian.
Pernikahan
dini, ah teramat banyak. Begitulah anggapan masyarakat desa, wanita yang tak
nikah-nikah, dicap perawan tua, dicap enggak laku. Makanya, terkadang beberapa
orang tua lebih memilih mengiyakan asumsi yang berkembang di masyarakat,
ketimbang melihat lebih jauh dampak dari pernikahan dini.
Poligami,
yang tak sehat. Euy, ada lo tetanggaku.. istri pertamanya itu hatinya terbuat
dari apa ya?. Anak dari istri kedua diasuh sama istri pertama lo, alasannya sih
mau dibuang dulu. Jadi, istri pertama enggak tega, lebih memilih mengasuh anak
tak berdosa ini. Tau gak, pas sudah besar usia 18 tahun an lah, ealah..diambil
sama istri kedua. Ingin ku berkata…YA SUDAHLAH.
Tenaga
Kerja Asing (wanita), alias TKW. Kalau pernah melihat video dari asistennya
Barack Obama yang dari Indonesia, itu berasal dari daerahku lo. Iya, angka TKW
luar negeri yang bekerja sebagai buruh kasar alias ART cukup banyak di daerah
asalku. Jalan pintas memperbaiki perekonomian keluarga dengan menjadi TKW,
itulah yang kerap dipilih oleh masyarakat sekitar tempat tinggalku. Bahkan nih,
aku pernah mendengar guyonan orang tua tetangga samping rumahku..
“Jangan
nakal ih sama adeknya. Adekmu cewek, nanti kalau besar dia jadi TKW luar negeri
banyak uang, entar kamu minta duit mulu..”
Aih..itu
si adek-adek belum genap umur dua tahun, kenapa harus didaftarkan sedini ini
untuk menjadi TKW?. Humm.. Lantas, kenapa harus adek cewek yang menjadi TKA
kelak pas besar? Kenapa lagi-lagi perempuan yang harus berkorban?
Aduh,
kalau aku menulis semua persoalan yang ada di sekitar tempat tinggalku, gak
bakalan cukup satu tulisan. Itu akan menjadi diskusi yang sangat panjanggggg…
Intinya..
I stand for feminism to better life of woman.
Created
by : Khusnul yang “masih” belajar feminisme sejak dulu kecil-sekarang.
4 Komentar
Akhirnya ada juga yang sepemikiran sama ane wkwkwk
BalasHapusAda yang notice rancauan ga jelas saya juga ternyata hehehe..
HapusAku bangga buat bilang "I stand for feminism to better life of woman".
-sending virtual hug-
Kak Khusnul akun ig nya apa nih hehe
BalasHapusAccount Ig saya sama dengann id web saya kak hehe alias ya @khotimahk87
HapusPosting Komentar